Arti Cinematography
Cinematography terdiri dari dua suku kata Cinema dan graphy yang berasal dari bahasa Yunani: Kinema, yang berarti gerakan dan graphoo yang berarti menulis.
Jadi Cinematography bisa diartikan menulis dengan gambar yang bergerak.
Di dalam kamus istilah TELETALK yang disusun oleh Peter Jarvis terbitan BBC Television Training, Cinematography diartikan sebagai The craft of making picture (pengrajin gambar). Sebagai pemahaman cinematography bisa diartikan kegiatan menulis yang menggunakan gambar bergerak sebagai bahannya.
Artinya dalam cinematography kita mempelajari bagaimana membuat gambar bergerak, seperti apakah gambar-2 itu, bagaimana merangkai potongan2 gambar yang bergerak menjadi rangkaiaan gambar yang mampu menyampaikan maksud tertentu atau menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan suatu ide tertentu
1. Komunikasi
Dalam sinematografi, unsur visual merupakan “alat” utama dalam berkomunikasi. Maka secara konkrit bahasa yang digunakan dalam cinematografi adalah suatu rangkaian beruntun dari gambar bergerak yang
dalam pembuatannya memperhat ikan ketajaman gambar, corak penggambarannya, memperhatikan seberapa lama gambar itu ditampilkan, iramanya dan sebagainya yang kesemuanya merupakan alat komunikasi non
verbal.
Biarpun unsur-unsur yang lain seperti, kwalitas cerita, editing, illustrasi musik, efek suara, sialog dan permainannya prima sehingga dapat memperkuat nilai sebuah tayangan, tapi unsur penting yaitu visualnya sangat buruk tentu akan mempengaruhi nilai keseluruhan.
Sebagaimana disampaikan di depan, sinematografi berarti menulis dengan gambar bergerak. Setiap pembuatan program dengan menggunakan kinema/gambar yang bergerak, pada hakekatnya adalah ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain/pemirsa; itu berarti pembuat program ingin berkomunikasi dengan menggunakan audio visual kepada orang lain.
Sesuatu yang ingin dikomunikasikan itu bisa berupa ide atau perasaan yang erat hubungannya dengan visi dan misi dari seorang pembuat program yang sudah dipelajari sebelumnya atau dapat pula berupa sikap atau keberpihakan dari pembuat program terhadap suatu masalah, misalnya masalah gender,
kekerasan terhadap anak, perempuan dan perdamaian dsb.
Dalam penyampaian ide atau gagasan tersebut seorang pembuat program berharap kepada
penonton atau audiens mendapatkan pemahaman sama denga dirinya. Apabila hal tersebut terwujud maka terjadilah suatu proses komunikasi yang baik.
Dalam buku teori-teori komunikasi yang ditulis oleh B Aubrey Fisher, dikutip definisi komunikasi yang baik dari Fotheringham bahwa komunikasi dapat dipandang baik atau efektif apabila ide, tema, informasi dsb yang disampaikan dapat dipandang “sama” atau mempunyai kesamaan bagi orang-orang yang terlibat dalam perilaku komunikasi.
Berkaitan dengan sinematografi, hal seperti yang disampaikan diatas perlu diperhatikan karena menyampaikan sesuatu, ide, gagasan, informasi, tema dengan menggunakan gambar tentu tidaklah semudah penyampaian dengan menggunakan tulisan.
Sebagai contoh; seorang sutradara ingin menampilkan suasana fajar di mana matahari belum muncul dan sinarnya masih tampak redup. Untuk mengungkapkan suasana seperti itu dengan kata-kata barangkali
tidaklah begitu sulit, misalnya bisa ditulis;
“Suatu pagi kala matahari masih bermalas-malasan bangkit dari peraduannya, Banu yang sedang tidur
dengan lelap tiba-tiba terbangun dari tidurnya dikejutkan oleh sauara yang keras yeng terdengar dari ruang disamping kamarnya.
Kiranya ungkapan seperti itu tidaklah terlalu mudah dilukiskan dengan audio visual.Seorang sutradara audio visual tentu akan bertanya;
– Bagaimanakah memvisualisaikan suasana fajar pada tayangan audio visual?
– Berapa gambarkah yang dibutuhkan untuk melukiskannya?
– Dimanakah tempat yang bisa dipakai sebagai lokasi shooting?
– Siapakah yang akan menjadi pemerannya? Dsb.
– Persiapan teknik apa saja yang dibutuhkan.
2. Bahasa Audio Visual
Gambar adalah medium komunikasi non verbal. Dengan sebuah kamera, baik kamera yang memakai film ataupun digital, baik yang diam (still photo) maupun yang bergerak (seluloid atau video), bisa “mengabadikan” apa saja yang bisa kita lihat dalam kenyataan hidup sehari-hari untuk dipindahkan menjadi gambar.
Dengan demikian gambar yang kita rekam tersebut adalah representasi dari sebuah realitas, namun bukan realitas itu sendiri karena realitas yang ada di dalam gambar hasil rekaman itu hanyalah sebagian saja dari realitas yang lebih besar atau realitas yang jauh lebih kaya dari pada realitas yang ada di dalam gambar.
Selain itu realitas di dalam gambar hanyalah realitas yang dua dimensi, sementara realitas yang sebenarnya adalah tiga (3) dimensi.
Dengan peralatan rekaman baik kamera photo maupun kamera video, siapapun dia telah melakukan pembatasan “gerak” dinamis dari realita dunia.
Sementara itu, dunia selalu bergerak dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari dan seterusnya. Dunia yang sebenarnya tidak pernah sama. Oleh karena itu apa yang dilakukan dengan alat rekam sebenarnya adalah perbuatan “menghentikan” gerak atau dinamika dunia.
Maka hasil rekaman itu, pada masa berikutnya sudah menjadi dokumen tentang masa lalu. Misalnya; kita bisa menyaksikan suasana yogya pada tahun 1920, dengan melihat foto atau rekaman gambar bergerak pada film yang di buat pada tahun itu.
Photo ataupun film (saat ini lebih banyak memakai video) adalah sebuah bentuk komunikasi non verbal. Sebagai alat komunikasi tentu saja selalu ada pesan yang ingin diekspresikan oleh seorang fotografer atau seorang sinematografer. Itu berarti hasil karya foto ataupun karya sinematografi sangat ditentukan oleh pembuatnya. Apa yang masuk dan apa yang tidak masuk di dalam bingkai atau frame ditentukan oleh kameramennya.
Seorang kameramen, sebagaimana manusia pada umumnya melihat kehidupan nyata ini secara selektif. Apa yang dilihatnya adalah yang memang diinginkan untuk dilihat. Secara subyektif ia memilih apa yang ingin dilihat. Kamera tidak dapat demikian. Kamera akan melihat semua yang terdapat di depannya.
Kamera adalah perpanjangan mata seorang kameramen. Subyektifitas seorang kameramen dalam melihat realitas sebuah realitas diekspresikan melaluai kamera. Dengan berbagai teknik, seorang kameramen mengontrol subyek atau obyek agar menimbulkan tertentu supaya apa yang dimaksudkannya bisa
ditangkap dan dipahami oleh orang yang melihat hasil rekaman itu.
Untuk memahami makna yang terkandung di dalam gambar hasil rekaman (baik foto maupun video) tidaklah mudah. Kendatipun seseorang merasa mengerti tentang sesuatu yang terdapat di dalam gambar, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dipahami. Karena itu, sebuah gambar menjadi sangat tergantung kepada siapa yang menginterpretasikan. Penonton yang melihat gambar tertentu akan menginterpretasikan gambar tersebut menurut pikirannya yang didasari oleh pengalaman hidupnya atau pola pikirnya hingga mempunyai kesan tertentu.. Dengan demikian penonton juga subyektif.
Untuk mengarahkan penonton memahami suatu maksud, seorang kameramen perlu mengontrol subyek yang ada dengan memanfaatkan semua elemen-elemen fotografis seperti garis, bentuk-bentuk, bayangan, kontras, warna, angle, gerakan, komposisi., simbol-simbol visual lain , untuk memunculkan suatu kesan tertentu. Kameramen “menangkap” sebuah realitas menurut sudut pandangnya dan kemudian memperlihathannya kepada penonton.
Kemudian penonton mencoba mengerti atau memahami berdasarkan pengalamannya.
Sebagai contoh; di suatu tempat terjadi bentrokkan fisik antara sekelompok mahasiswa yang sedang berdemonstrasi dengan sekelompok polisi. Andaikan saja kita ingin menyajikan peristiwa tersebut kepada penonton televisi dengan merekamnya dalam format MSL (medium long shot) yang memperlihatkan hampir seluruh kejadian tersebut selama 2 menit.
Dari rekaman tersebut meskipun banyak orang mengerti apa isinya, namun masih banyak juga informasi yang tidak bisa diketahui. Barangkali muncul pertanyaan-pertanyaan apa penyebabnya? Siapa yang memulai?, Berapa korbanya? dan sebagainya.
Kemudian berdasarkan pengalaman hidup masing-masing, penpnton akan mencoba memahami rekaman tersebut dengan pikirannya. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman buruk terhadap mahasiswa akan mengatakan bahwa mahasiswa anarkis. Sedangkan yang mempunyai pengalaman buruk terhadap polisi akan mengatakan polisi represif dan kejam. Atau barangkali juga akan ada yang mengatakan kedua-duanya brutal.
Berdasarkan realitas di atas, seorang kameramen bisa menyampaikan pesan berdasarkan sudut pandangnya. Jika ia ingin menyampaikan pesan bahwa polisi itu memang kejam. Maka dengan teknik fotografi seperti angle, framing, komposisi dan sebagainya ia akan lebih banyak memunculkan
bagian-bagian peristiwa yang menunjukkan kekejaman polisi dan tidak mengambil sudut pandang yang bisa menampakkan di bagian lain di mana mahasiswa sedang melempar bom molotov dan mengenai polisi hingga terbakar. Maka penonton yang menyaksikan rekaman tersebut pasti akan membangkitkan kebencian mereka terhadap polisi. Demikian juga sebaliknya kalau kamera lebih banyak diarahkan pada aksi mahasiswa yang anarkis kesan penonton tentu saja berbeda.
Belajar “membaca” (menganalisa) gambar untuk belajar “menulis” dengan gambar.
Kamera foto maupun video adalah media rekam. Untuk menyampaikan pesan, pikiran, maksud, informasi dan sebagainya, seorang kameramen harus mampu “menuliskan” apa yang ingin disampaikan ke dalam gambar dengan menggunakan elemen-elemen visual agar penonton bisa “membaca” dan kemudian mengerti maksudnya. Agar bisa “menulis” dengan baik seyogyanya mengerti lebih dahulu bagaimana “membaca” gambar. Untuk mempertajam kejelian dan membiasakan diri berfikir secara visual baik kiranya berlatih menganalisis berbagai gambar karya orang lain terutama gambar-gambar karya kameramen ternama. Salah satu cara menganalisis gambar adalah dengan melalkukan 3 langkah yaitu; Inventarisasi, diskripsi dan verbalisasi.
1. INVENTARISASI
Apabila melihat gambar, semua orang tentu mengerti tentang yang dilihatnya. Kemudian lakukanlah pengamatan secara seksama seluruh elemen-elemen yang ada di dalam gambar. Di dalam gambar barangkali
terdapat orang, bunga, pohon, gunung, langit, mobil, rumah dan sebagainya bahkan mungkin pula terkandung unsur-unsur garis, bentuk, kegelapan, terang, warna dan sebagainya. Coba rasakan beberapa elemen sering menyiratkan sesuatu. Misalnya bunga alang-alang bisa jadi menyiratkan keliaran atau kebebasan. Warna biru memberi kesan dingin dan warna merah memberi kesan panas. Garis diagonal untuk jalan memberikesan dinamis dan masih banyak lagi elemen-elemen gambar yang mempunyai makna dan arti sendiri-sendiri.
2. DISKRIPSI
Pada tahap ini “pembaca” hendaknya mengamati relasi dari semua elemen-elemen yang ada. Apakah hubungan antar elemen-elemen memberi kesan tertentu? Apakah yang dominan? Apakah yng kurang dominan? Apakah terdapat kontras? Manakah figur utama? Manakah ground? Dan sebagainya.
Di dalam langkah ini barangkali mendapatkan mood atau atmosfir dari keseluruhan gambar.
3. VERBALISASI
Dari data-data yang didapatkan pada langkah 1 dan 2, kemudian dicari apa yang ingin dikatakan dari gambar tersebut.
Dengan selalu membuat semacam evaluasi dan menganalisis setiap melihat gambar, kepekaan terhadap gambar akan semakin terlatih. Dengan demikian pada saatnya menjadi mudah apabila ingin mengkomunikasikan secara visual ide-ide dengan menggunakan gambar dan gambar yang diciptakan menjadi komunikatif.
Untuk melakukan rekaman gambar, sebelum memutuskan untuk menekan tombol record, sebaiknya kameramen melakukan analisis terlebih dahulu apa yang terlihat melalui view finder, dengan mengingat langkah-langkah analisis gambar secara terbalik, yaitu;
Verbalisasi, Diskripsi dan Inventarisasi.
Kameramen hendaknya mempertimbangkan dahulu apa yang ingin disampaikan (Verbalisasi). Kemudian untuk “menuliskan” ide, apakah ada bagian dari elemen-elemen gambar yang perlu ditonjolkan?, Apakah yang akan menjadi Ground dan Apakah yang akan menjadi Figur? (Diskripsi) Dan selanjutnya, melalui View Finder analisislah apa saja elemen-elemen gambar yang bisa memperkuat kesan (Inventarisasi). Dan setelah itu ditentukanlah bagaimana Anglenya, Bagaimana pembingkaiannya? (Framing), Bagaimana Close Upnya, komposisinya dsb.
Pada saat seseorang ingin mengkomunikasikan sesuatu dibutuhkan bahasa, dalam sinematografi bahasa yang digunakan adalah Kinema ( gambar bergerak ) yang sebenarnya terdiri dari audio dan visual yang
karakteristiknya berbeda dengan bahasa tulis. Perbedaan karakter bahasa audio visual dan bahasa tulis :
Bahasa Audio Visual Bahasa Tulis
1. Berupa bunyi dan gambar 1. Berupa alphabeth ( symbol)
2. Berkenaan dengan mata dan telinga 2. Berkenaan dengan mata
3. Merangsang otak kanan, fungsi afeksi, rasa dan
Intuisi 3. Merangsang otak kiri, fungsi kognitif, data,
logika dsb
4. Menciptakan komunitas dan meniadakan kelas –
kelas social 4. Menciptakan individualisme dan lapisan kelas
seperti kelompok elit dsb
5. Menciptakan kesan – kesan umum 5. Menciptakan delatail – detail yang bersifat
inofatif
Bahasa adalah alat ekspresi, representasi dan komunikasi. Melalui bahasa kita bisa mengungkapkan gagasan dan isi hati kita, kita bisa menyampaikan data dan fakta, bisa menciptakan komunikasi dengan orang lain. Bahasa verbal terdiri dari bunyi dan kata – kata yang ditangkap dengan telinga ( auditif ), sedangkan bahasa televisi/film yang berupa gambar – gambar ditangkap dengan mata ( visual). Untuk menguasai bahasa televisi/film kita harus mempelajari kata – katanya, susunan kalimatnya, idiom – idiomnya dan tata bahasanya. Hal tersebut meliputi makna masing – masing gambar ( frame ), hubungan frame yang satu dengan frame yang lain ( shot ), shot yang satu dengan shot yang lain ( scene ) dan scene yang satu dengan scene yang lain ( sequence ).
Frame adalah satuan gambar televisi/film. Gambar televisi tidak diambil secara serampangan. Gambar bukanlah sekedar sajian obyek – obyek yang berhasil terekam, tetapi benda atau obyek itu sudah mempunyai kesan atau “berkata” sesuatu. Apabila direkam tentu akan menghasilkan gambar yang memberi kesan dan berkata sesuatu pula. Gambar seorang anak kecil yang tertawa akan memberi kesan gembira kepada kita. Sebaliknya gambar luka yang dikerumuni lalat akan membuat kita merasa ngeri.
SHOT – KALIMAT DALAM BAHASA TELEVISI
Shot adalah bagian dari adegan. Seperti halnya kata-kata yang diajarkan, diurutkan satu sesudah yang lain, belum tentu membentuk satu kalimat, begitu juga sambungan gambar-gambar menjadi satu rangkaian tertentu belum dengan sendirinya berkata sesuatu. Bila hubungan gambar yang satu dengan yang lain itu memang dimaksudkan untuk menceritakan sesuatu haruslah ada unsur-unsur yang menunjukkannya. Unsur-unsur itu dapat dicari dalam komposisi gambar-gambar itu sendiri, misalnya:
obyek yang bergerak dalam frame, dalam dialog yang diteruskan, atau dalam hubungan penonton dengan obyek-obyek dalam ceritera itu sebagai akibat dari letak kamera atau lensa khusus yang dipergunakan. Segala cara untuk menghubungkan gambar-gambar dalam satuan tertentu (editing) sehingga bisa menyampaikan arti tertentu kepada penonton biasanya dipakai secara bergantian dan dicampur-campur.
Karena susunan gambar-gambar menjadi satu shot diatur menurut aturan tertentu itu, penonton yang melihatnya akan bisa mengartikannya. Penonton akan mampu “membaca” dan menafsirkan apa yang mau diungkapkan oleh “kalimat” tertentu itu.
SCENE (ADEGAN) – ALINEA DALAM BAHASA TELEVISI
Untuk menjadi sebuah alinea, kalimat-kalimat harus disusun menurut aturan logis tertentu yang akan menghasilkan pula suatu gaya tersendiri:
gaya cerita, renungan, memikir atau sekedar asosiasi belaka. Gaya ceritera dipakai bila orang mau menyampaikan fakta atau data menurut apa adanya. Gaya renungan dipakai bila mau melihat suatu fakta atau data secara lebih mendalam. Gaya memikir bila orang mau mencari sebab akibat dari satu peristiwa, untuk akhirnya bisa menarik suatu kesimpulan.
Gaya asosiasi bila beberapa fakta atau data sekedar disampaikan saja, terserah kepada orang yang menonton untuk menghubung-hubungkannya.
Dalam film ceritera, kita bisa memakai semua gaya itu secara lebih efektif.
Gaya asosiasi misalnya dipakai dalam ceritera, hasilnya lebih meyakinkan daripada novel. Adegan dalam sebuah lamunan atau impian dipertunjukkan dengan gaya asosiasi, dimana shot yang satu dihubungkan begitu saja dengan shot yang lain, akan lekas ditangkap oleh penonton.
Seperti orang melamun atau mimpi tidak selalu mengikuti garis ceritera yang lurus, lamunan atau impian bisa dilukiskan dengan shot-shot yang tidak teratur.
Untuk membuat suatu scene, shot-shot dihubungkan satu dengan yang lain. Sebuah scene yang klasik disusun mulai dengan sebuah long shot, dilanjutkan dengan sebuah close up dan diakhiri dengan sebuah long shot lagi atau cut away.
Tetapi kebiasaan ini sekarang sudah tidak lagi ditaati secara ketat. Yang tetap dipertahankan orang dalam membuat scene, bukan lagi shot-shotnya, tetapi arti scene itu sendiri.
Ada yang perlu dalam sebuah scene adalah sebuah adegan atau action yang dipandang dari beberapa sudut kamera. Misalnya sebuah scene mengenai perkelahian, maka kita akan melihat perkelahian itu dari sudut kiri dan sudut kanan, dari lawan yang satu ke lawan yang lain.
Ada bermacam transisi untuk menyusun shot-shot menjadi scene: cut, dissolve, fade in, fade out, wipe. Transisi-transisi ini bisa dipakai untuk menunjukkan hubungan peristiwa, pergantian waktu atau tempat.
CUT : Cut adalah perpindahan atau pergantian langsung dari satu shot yang satu ke shot yang lain.
Cut mempunyai fungsi untuk:
- kesinambungan action, apabila dalam pengambilan gambar kamera tidak mampu lagi mengikuti suatu action karena terhalang obyek lain misalnya, gambar di cut kemudian disambung ke shot lain dengan camera angle yang berbeda yang menyajikan kesinambungan dari shot sebelumnya.
- Detail obyek, misalnya dengan long shot kita sajikan seseorang yang sedang membaca koran. Untuk membantu penonton melihat berita apa yang sedang dibaca, gambar terdahulu bisa di cut kemudian disambung shot berikutnya berupa Closed Up dari judul berita yang dibacanya.
- Perubahan tempat dan waktu, misalnya cut dari interior ke exterior. Atau Cut dari adegan yang sedang terjadi ke Flash back (kejadian yang sudah berlalu).
- Menciptakan irama kejadian, misalnya dengan Fast Cutting yaitu cut to cut secara cepat yang menciptakan kesan tegang. Dengan Slow cutting, memberi kesan lamban dan tenang.
DISSOLVE : Dissolved adalah perpindahan gambar secara tumpang tindih dari akhir suatu shot dengan awal dari shot berikutnya. Pada umumnya dissolved digunakan untuk jembatan penghubung atau transisi antara dua shot yang berbeda waktu, tempat, kejadian, action dan sebagainya.
FADE : Fading adalah efek optik yang digunakan untuk keperluan transisi, di mana Gambar berubah secara berangsur-angsur menjadi gelap (fade out) atau dari gelap perlahan-lahan m,enjadi nampak gambarnya.
WIPE : Wipe adalah efek optik yang berfungsi sebagai transisi dari adegan ke adegan Pada layar tampak semacam garis menghapus gambar yabg terdahulu, sementara gambar adegan berikutnya mulai muncul mengikuti garis tersebut.
SEQUENCE (BABAK) – BAB DALAM BAHASA TELEVISI
2 Replies to “Mengenal Arti Cinematography Penerapannya dalam Dunia Broadcasting”