Keputusan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan yang sistematis dan ekstrem selama perang kemerdekaan Indonesia disambut baik oleh sejarawan.
Menurut sejarawan Restu Gunawan, keputusan Pemerintah Belanda menyampaikan permohonan maaf adalah bentuk sikap berbesar hati.
“Kita menyambut positif permintaan maaf itu. Tentu ini menunjukkan kebesaran hati pemerintah Belanda juga atas pengakuaan kekerasan Belanda terhadap masyarakat dan Pemerintah Indonesia,” kata Restu saat dihubungi Kompas.com, Jumat (18/2/2022).
Restu mengatakan dengan permintaan maaf itu menunjukkan Pemerintah Belanda mempunyai itikad baik untuk mengakui kekeliruan di masa lalu, dan tidak mengubah hubungan baik dengan Indonesia yang sudah terjalin.
“Belanda sudah mengakui kedaulatan dan hubungan kedua negara selama ini berjalan baik. Ini kan masalah kemanusiaan. Karena setelah Indonesia merdeka, Belanda sudah berhenti melakukan aksi militer dan pembunuhan-pembunuhan. Dan itu sekarang mereka akui dan minta maaf,” ujar Restu.
Permintan maaf itu diutarakan Mark Rutte pada Kamis (17/2/2022), setelah sebuah penelitian mengungkap kekerasan yang dilakukan Belanda saat masa kolonial di Indonesia.
“Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya menyampaikan permintaan maaf terdalam saya kepada rakyat Indonesia atas kekerasan sistematis dan ekstrem dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu,” kata Rutte dalam konferensi pers, dikutip dari Kantor Berita AFP.
Rutte mengatakan dia juga menyesal pemerintah Belanda sebelumnya menutup mata terhadap masalah ini.
“Kami juga meminta maaf kepada semua orang yang tinggal di Belanda yang harus hidup dengan konsekuensi perang kolonial di Indonesia, termasuk para veteran perang yang berperilaku baik,” ujar Rutte.
Dalam studi yang dilakukan selama empat tahun oleh peneliti Belanda dan Indonesia, ditemukan bahwa pasukan Belanda membakar desa-desa dan melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan eksekusi selama konflik 1945-1949. Kekerasan ektrem ini dilakukan dengan dukungan diam-diam dari pemerintah.
Dalam studi tersebut peneliti menyebut bahwa pihak Belanda mulai dari politikus, pejabat, pegawai negeri, hakim, dan sebagainya mengetahui tentang kekerasan ekstrem dan sistematis itu.
“Ada kemauan kolektif untuk memaafkan, membenarkan dan menyembunyikannya, dan membiarkannya tanpa hukuman. Semua ini terjadi dengan tujuan yang lebih tinggi: memenangkan perang,” ungkap peneliti.
Kejahatan perang itu pertama kali diungkapkan oleh seorang mantan veteran Belanda pada 1969, tetapi sejak saat itu pandangan resmi adalah bahwa meskipun “berlebihan” mungkin terjadi, pasukan Belanda secara keseluruhan berperilaku dengan benar.
“Kejahatan termasuk penahanan massal, penyiksaan, pembakaran kampong (perumahan), eksekusi dan pembunuhan warga sipil,” kata Frank van Vree, seorang profesor sejarah perang di Universitas Amsterdam, selama presentasi online terkait penelitian.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari MindaFilm.com. Mari bergabung di Grup Telegram “MindaNews Update”, caranya klik link https://t.me/MindaNews Update, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.